Opini

Kebijakan Impor Garam Demi Kemaslahatan Siapa?

Tata kelola kepemilikan umum termasuk garam dalam negeri Islam akan dilakukan sesuai dengan syariat. Pemerintah dalam sistem Islam berpikir bagaimana cara untuk mengoptimalisasi pengelolaan sumber daya alam, membantu masyarakat khususnya para petambak dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi.


Oleh Anesa Tri Juni, S.Sos.

JURNALVIBES.COM – Lagi-lagi, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah membuat geleng kepala. Mereka seharusnya memikirkan bagaimana keberlangsungan hidup, kesejahteraan, dan nasib rakyatnya. Namun faktanya malah membuat aturan di luar ekspektasi.

Rencananya pemerintah membuka keran impor garam sebanyak 3,07 juta ton pada tahun 2021. Keputusan ini diambil dalam rapat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 25 Januari 2021 lalu akhirnya direalisasikan.

Dilansir dari Kompas.com (25/9), Pemerintah memutuskan untuk membuka keran impor garam pada tahun ini sebesar 3,07 juta ton. Keputusan itu disampaikan langsung oleh Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita. Impor terpaksa dilakukan pemerintah karena kebutuhan garam nasional mencapai 4,6 juta ton pada 2021.

Sejak pemerintah melakukan ancang-ancang impor garam ini, sudah banyak pihak bahkan yang memang ahli dalam bidangnya mengkritik dan memberikan masukan agar bisa dibatalkan. Namun, sepertinya mereka tidak menggubris dan tetap kukuh untuk mengimpor garam.

Ada dua faktor mengapa hal ini perlu dilakukan. Kemenperin menjelaskan faktor-faktornya yakni, pertama, stok tak mencukupi kebutuhan nasional. Petani lokal dikatakan tidak mampu memenuhi kuantitas secara berkesinambungan. Kedua, kualitas garam lokal dianggap tidak memenuhi standar industri lalu terakhir.

Kebijakan Impor Tak Berpihak pada Petambak.

Dikutip dari Tirto.Id (10/3), Ketua Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGI) Jakfar Sodikin menyayangkan keputusan impor garam yang terus berlanjut, apalagi disertai pembatalan target swasembada. APGI menilai impor garam akan semakin membuat petambak terpuruk karena harga garam di tingkat petani akan semakin tertekan seiring membanjirnya pasokan garam impor.

Belum lagi masuknya garam impor akan membuat pengusaha semakin enggan menyerap garam petani. Di awal Januari 2021 saja, ada sisa 800 ribu ton stok garam petani yang tidak terserap dari tahun-tahun sebelumnya, karena pemerintah lebih cenderung mengandalkan impor.
Tak mengherankan bila di akhir 2019 harga garam tingkat petani pernah menyentuh Rp150/kg.

Pada tahun 2020, mereka sedikit lebih mujur tapi tetap sial dengan harga Rp400/kg. Dengan harga Rp400/kg, maka selama satu tahun penghasilan petambak hanya mencapai Rp2 juta dari hasil satu musim panen Juni-Oktober. Itu pun masih dipotong lagi dengan ongkos angkut, panen, dan biaya lainnya.

Dari deretan fakta di lapangan seperti ini, seharusnya pemerintah membuka mata. Pemerintah yang telah mengetahui faktor-faktor terkait pasokan garam seharusnya menemukan solusi yang solutif. Jika ditarik benang merahnya, alasan yang dikemukan oleh Kemenpri perihal impor adalah dua faktor yang telah disebutkan yakni masalah kuantitas yang tidak mencukup serta kualitas yang belum memenuhi standar. Maka seharusnya yang menjadi fokus penyelesaian masalahnya adalah dua faktor yang telah disebutkan tadi.

Bukan ujug-ujug menelurkan kebijakan untuk mengimpor garam, sehingga akhirnya menyebabkan kerugian pada petambak garam di negeri sendiri dan sebaliknya malah menguntungkan pihak lain. Terlebih Indonesia ini memiliki garis pantai kedua terpanjang di dunia (54.716 km). Jadi masalahnya di sini adalah mau atau tidaknya untuk serius berbenah atas kekurangan yang ada dalam negeri dan memanfaatkan potensi yang ada. Memajukan apa yang ada di depan mata untuk kemaslahatan bersama. Jangan sampai apa yang ditetapkan malah merugikan sebagian pihak dan hanya menguntungkan pihak tertentu. Akan tetapi sungguh ironis sekali jika pemerintah membuat aturan justru demi kemaslahatan korporasi.

Sistem Ekonomi Kapitalis Gagal Mewujudkan Kesejahteraan

Hasil dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalis menyebabkan ketimpangan yang terlihat jelas. Kesenjangan benar-benar terasa. Mereka yang tidak memiliki privilege akan tergilas oleh kebijakan yang terlahir dari sistem ekonomi kapitalis ini.

Sebaliknya mereka yang punya kedudukan istimewa akan selalu merasa di atas awan. Membuat aturan sesuka hatinya dan sesuai apa saja yang dapat menguntungkan golongannya. Inilah ciri khas sistem ekonomi kapitalis. Berbeda dengan ekonomi Islam yang fokus pada ada pemenuhan kebutuhan individu di dalam masyarakat.

Tata kelola kepemilikan umum termasuk garam dalam negeri Islam akan dilakukan sesuai dengan syariat. Pemerintah dalam sistem Islam berpikir bagaimana cara untuk mengoptimalisasi pengelolaan sumber daya alam, membantu masyarakat khususnya para petambak dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Melalui edukasi dan pelatihan, sarana produksi serta infrastruktur penunjang. Negara benar-benar membantu. Karena mereka sadar, bahwasanya mereka diamanahi untuk melayani dan melindungi rakyatnya. Wallahu a’lam bishawwab. []

Editor: Ulinnuha; Ilustrator: Fathzz


Photo Source by Google

Disclaimer: JURNALVIBES.COM adalah wadah bagi para penulis untuk berbagi karya tulisan bernapaskan Islam yang kredibel, inspiratif, dan edukatif. JURNALVIBES.COM melakukan sistem seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan JURNALVIBES.COM. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email redaksi@jurnalvibes.com

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Articles

Back to top button