
“Ini lapisan terakhir pertahanan Sasha, Bu. Berat sekali di sini,” jawabnya gemetar.
Oleh: Nabila Aichidinansyah (Student Freelancer)
JurnalVibes.Com – Bertempat di mana remangnya lampu yang jadi atap, ia terpekur. Matanya berkaca-kaca. Beruntunglah, hujan berkawan dengannya malam ini. Jadilah samar suara tangisnya.
Akasha bangkit dari kasurnya menuju kamar mandi. Sepertinya berwudu akan membuat segalanya lebih tentram. Setelah merasa tenang, Akasha kembali mengingat kejadian pahit yang dialaminya siang tadi. Mencoba menerka apa kiranya yang salah dari perbuatannya.
Sekolah, 11.20 WIB
“Akasha Kirana dari kelas 10-3?” tanya siswa ber-nametag kuning. Tertulis jelas ‘panitia’ di sana.
Akasha mengangguk. Badannya bergetar. Ini kali pertama dia memberanikan diri mengikuti komunitas semacam ini. Terlebih komunitas yang diikutinya bukan sembarang komunitas.
“Mohon maaf, apa kau salah mengisi formulir? Di sini tertera dengan jelas kalau ini Sekretariat Sispala bukan Rohis,” Akasha paham betul sindiran tersebut. Mengingat dirinya yang selalu ‘berbeda’ dari yang lain.
“Betul, Kak, saya memang mendaftar di Sispala,” jawabnya tersenyum. Hatinya terus mengucap asma Allah, melafalkan salawat supaya Allah memperlancar niat baiknya.
“Kau tidak tahu ya Sispala itu komunitas seperti apa? Dik, jangan sembarang memilih. Sispala ini keras, bukan hanya naik-naik gunung supaya keren,” ucap Kakak ber-name tag kuning meremehkan.
“Saya tahu betul Sispala itu seperti apa, saya paham kalau Sispala bukan komunitas santai-santai,” rasa gugup membuat Akasha patah-patah menjelaskannya pada Kakak name tag kuning.
“Ya ya ya baiklah, bukan jatahku yang menyeleksi anggota. Sana masuk, temui Ketua Sispala!” ucapnya sedikit mengusir. Akasha menghela napas lalu masuk perlahan menuju ruangan yang ditunjuk. Lagi-lagi jantungnya berdegup lebih cepat. Berkali-kali ia meyakinkan bahwa keputusannya tidaklah salah.
Di dalam ruangan hanya ada satu meja dengan dua kursi yang berhadapan. Duduk di sana seseorang yang sepertinya adalah Ketua Sispala yang disebut-sebut di depan. Untungnya bukan hanya ada dirinya dengan sang ketua, di sudut kanan banyak anggota-anggota lain yang juga hadir. Ketua Sispala itu melihat kedatangan Akasha, segera ia menyuruhnya duduk di kursi yang telah disediakan.
“Jadi kamu? Akasha Kirana yang menghebohkan meja pendaftaran?” tanyanya menyelidik, “Saya Arka, Ketua Sispala tahun ini. Langsung saja, apa alasanmu mengikuti Sispala?”
“Saya sangat mencintai alam Kak. Bercengkerama bersama alam jadi healing tersendiri buat saya dan juga, rasa miris selalu menghantui saya ketika melihat alam yang mulai rusak. Saya harap dengan bergabungnya saya di organisasi ini ada kontribusi yang dapat saya berikan kepada masyarakat,” jawabnya tegas.
“Hm alasan klise, ya. Kamu tahu apa saja kegiatan yang diadakan Sispala sekolah kita?”
“Pendakian gunung, susur goa, panjat tebing, dan charity event,” sedikit ragu, tetapi Akasha bisa menjawab dengan lancar.
“Nah, dengan berbagai kegiatan Sispala yang membutuhkan semangat, mental, fisik, dan jiwa yang kuat, kamu yakin bisa? Yaah, bukannya meremehkan, tapi tampilanmu kurang meyakinkan. Walaupun untuk tingkat Sispala belum banyak ekspedisi secara langsung dan lebih banyak pengetahuan dasar, saya enggak yakin kamu mampu dan berpengalaman dalam hal ini,” Ketua Sispala itu menyandarkan punggungnya dan melipat kedua tangannya.
“Hanya karena saya berhijab, menggunakan gamis dan kerudung panjang, bukan berarti saya lemah, Kak. Sedari kecil saya terbiasa naik-turun gunung, menyatu dengan alam. Jadi semua yang ada di Sispala ini bukan hal baru buat saya,” jawab Akasha meyakinkan.
Arka mengulum bibirnya. Ketua Sispala itu nampak bimbang, “Kalau begitu kamu pasti tahu kalau laki-laki dan perempuan mendapat perlakuan yang serupa di Sispala bukan? Saya rasa perempuan muslimah seperti kamu tidak biasa dengan hal tersebut.”
Inilah yang membuat Akasha galau setengah mati. Hobinya, impiannya, sedikit bertentangan dengan syariat yang selama ini dipegangnya erat. Bolak-balik ia memikirkan hal ini, hatinya tetap bimbang. Masih belum sepenuhnya yakin terhadap keputusan yang sedang dijalaninya.
“Kenapa diam? Betul ya apa yang saya perkirakan? Kalau begitu Sispala bukan tempatmu,” Akasha terkejut. Semudah itu Ketua Sispala ini menyimpulkan?
“Tapi Kak saya bisa mengusahakan—“
“Mohon maaf kami tidak bisa mementingkan kepentingan pribadi satu dua orang. Kalaupun kamu bisa mengusahakan, tetap saja akan ada ketimpangan dengan anggota lain,” putusnya final.
——–
Mengingatnya tanpa sadar membuat Akasha kembali bersedih. Sesulit itukah untuk berbaur dengan dunia luar tanpa meninggalkan identitasnya sebagai seorang muslimah? Tapi kalau diingat-ingat, mungkin ini jawaban atas keraguan hatinya.
Akasha bukan orang yang mampu memendam semuanya sendirian. Berhubung ia bersekolah di kota yang berbeda dengan Ibu, dia hanya bisa menghubunginya lewat telepon. Diambilnya telepon genggam diatas nakas. Jarinya segera berselancar mencari kontak Ibu. Pada sambungan yang ketiga kali barulah Ibu menjawab teleponnya.
“Assalamualaikum, anak Ibu,” Ah suara Ibu memang yang terbaik. Belum apa-apa Akasha sudah tenang dibuatnya.
“Waalaikumsalam, Bu.”
“Sasha baik-baik saja kan di sana? Suaramu terdengar berbeda,” Ibu peka sekali kalau anak kesayangannya ini habis menangis. Dan panggilan itu—Sasha, membuat Akasha semakin merindukan Ibu.
“Sasha baik Bu, tapi ada yang ingin Sasha sampaikan.”
Mulailah mengalir segala resah di hatinya. Tak ada satupun yang disembunyikannya dari Ibu. Mati-matian Akasha menahan tangisnya lagi, supaya Ibu tidak khawatir.
Di seberang sana, Ibu menghela napas.
“Ingat Nak, kita terlahir sebagai manusia, maka tak bisa memaksa jadi bunga. Kita tak akan bisa sehalus kapas atau seberani api, sebab bukan itu tujuan kita dilahirkan. Jangan pernah memaksa, Nak, sesungguhnya hidup itu tentang memilih dan dipilih.”
“Berat Bu, Sasha tak sanggup,” pecahlah seluruh tangisnya.
“Meskipun sekarang, kau merasa terhambat dalam mengejar mimpimu, kelak kau akan jadi penghubung antara mimpi dengan tuannya. Kau yang akan jadi jalan, mengantarkan setiap harapan pada rumahnya. Karena bukan hanya dunia yang kau kejar, tapi juga ridho Sang Maha Kuasa. Tetap seperti namamu, Sayang, Akasha. Tak perlu tampak, tapi berdampak.”
“Ini lapisan terakhir pertahanan Sasha, Bu. Berat sekali di sini,” jawabnya gemetar.
“Jadilah kuat. Untuk dirimu sendiri, kemudian untuk Ibu. Untuk orang-orang yang tersenyum setiap kali melihatmu. Untuk mereka yang kehilangan kesempatan sebelum memulai perjalanan panjangnya. Dan untuk segala sesuatu yang pernah dan akan singgah dalam hidupmu,” Ibu melanjutkan, “Ketahuilah, karena hidup ini tentang memilih dan dipilih, sekarang fasenya dipilih. Kuncinya hanya satu, ikhlas, Nak. Penuhi hatimu dengan keberanian. Pupuk ia sampai tumbuh dewasa. Jangan biarkan layu.”
“Kalau memang Sispala bukan yang Allah pilihkan, Ibu percaya akan ada rumah lain yang bisa menjadi tempat segala hobimu bisa tersalurkan,” ucap Ibu menenangkan.
“Kalau enggak ada?” tanyanya ragu.
“Kalau begitu kita buat sendiri. Allah memberikan kita kecerdasan dan kesempatan, maka maksimalkan semua itu, Nak. Buktikan bahwa apa yang kita yakini selama ini bukanlah suatu hal yang mengekang, justru membuat kita lebih teratur.”
Akasha dan Ibu kembali menghabiskan waktu bercengkerama di telepon. Bukan hanya membahas Sispala tadi, tetapi juga bermacam-macam hal yang selama ini terpendam di hatinya. Tak sadar waktu telah menunjukkan pukul 23.24, Akasha terlelap dengan telepon genggam masih berada di tangannya. Mengeluarkan suara Ibu yang tetap di sana, tidak mematikan telepon demi memastikan sirnanya kesedihan sang anak.
———
Esoknya di jam istirahat, Akasha menunggu kedatangan Sarah, Ketua Rohis akhwat, di taman belakang kantin. Dirinya bermaksud untuk mengutarakan keinginan baik, seperti yang dikatakan Ibu semalam.
“Kak Sarah, sini,” Akasha melambaikan tangannya begitu melihat Sarah celingak-celinguk mencari sosoknya.
“Hei Akasha, ada perlu apa denganku, ya?” senyumnya terpancar lembut. Akasha yakin, siapapun yang berada di dekat Sarah pasti merasa tenang. Tanpa menunggu waktu lama, Akasha mengutarakan keinginannya pada Sarah. Tentang kegelisahannya dan mungkin hal itu juga dirisaukan oleh teman-teman muslimah yang lain.
“Hm menarik. Aku juga sempat memikirkan hal yang serupa,” ucapnya terkekeh, “Baiklah nanti aku sampaikan pada Pembina Rohis, kau persiapkan saja ya proposal pengajuannya.”
Akasha mengangguk senang. Akhirnya satu persatu persoalannya menemukan titik terang. Dia diberi waktu tiga hari untuk menyelesaikan proposal pengajuan Klub Muslimah Pencinta Alam. Tentu tak butuh waktu lama baginya mengurus semua itu. Setelah masa pengajuan, Akasha diminta untuk mempresentasikan klub yang digadang-gadangnya itu.
“Apa alasan terkuat Anda mengadakan klub ini? Di sekolah kan sudah ada Sispala, apa tidak takut nantinya akan berbenturan?” tanya Kepala Sekolah saat presentasi.
“Meski sama-sama berbasis pencinta alam, klub yang akan kami dirikan ini tidak akan berbenturan, Pak, karena anggota yang direkrut khusus muslimah yang memang memiliki kecintaan lebih terhadap alam dan lingkungan. Jadi kami akan memfasilitasi hobi mereka, supaya merasa aman dan nyaman karena tetap berpatokan dengan syariat. Kalau di Sispala lebih umum. Campur baur antara laki-laki dan perempuan memang agak riskan bukan, Pak,” jelas Akasha dengan percaya diri.
“Apa saja yang akan Anda lakukan nantinya?”
“Kami akan memberikan pembekalan ilmu dasar mengenai kode etik pencinta alam, materi dasar mengenai Sispala seperti navigasi, P3K & SAR, pemeliharaan lingkungan dan lain-lain. Untuk pengaplikasian materi, kami juga akan melakukan bakti sosial, pembagian bibit, dan LDK, tentunya teknis pelaksanaan juga disesuaikan dengan visi dan misi klub kami,” Hadirin yang terlibat tampak serius mendengarkan. Selain kepala sekolah, banyak juga dewan guru serta perwakilan murid yang hadir. Ketua Sispala pun hadir di sana, agar tidak ada kesalahpahaman yang terjadi antarkedua belah pihak.
Setelah presentasi dan diskusi yang berjalan cukup lama, diambilah keputusan bahwa Klub Muslimah Pencinta Alam atau Muspala resmi dijadikan sebagai salah satu klub yang akan bernaung di bawah ekstrakurikuler sekolah dengan Sarah yang akan menjadi ketua klub tersebut.
Senyum sumringah tercetak jelas di wajah Akasha. Meskipun bukan ia yang bertanggung jawab secara langsung, tetap saja rasa bahagia membuncah dalam sanubarinya. Segera setelah rapat ditutup, ia bergegas pergi ke musala. Mengucap syukur atas segala rencana indah yang Allah berikan padanya.
——–
Dua hari setelah peresmian, Akasha dan Sarah membuka pendaftaran. Tak disangka, animo masyarakat sekolah sangat tinggi. Mengingat PAS sudah didepan mata, Sarah menyegerakan kegiatan-kegiatan Muspala. Agenda pertama yang dilaksanakan setelah pemberian materi selesai adalah LDK. Kali ini Akasha yang bertugas sebagai ketua pelaksana.
“Oke teman-teman, kegiatan selanjutnya bertempat di Goa Raksa, jaraknya sekitar 2 KM dari tenda kita. Ingat, tetap berkelompok dan saling menjaga. Tidak ada petunjuk apapun, kami hanya membekali kalian kompas dan peta, maksimalkan kemampuan navigasi kalian, ya,” titah Akasha.
“Siaaapp,” jawab semua peserta. Ketelitian, kelincahan, dan kecepatan mereka dalam bergerak, membuat Akasha kagum. Estimasi waktu yang diberikan sekitar 1,5 jam, tetapi semua peserta mampu sampai di lokasi dalam kurun waktu setengahnya. Begitu juga saat observasi lingkungan alam, mereka mampu menganalisis kerusakan, solusi perbaikan, serta peluang yang bisa diambil dari kondisi hutan.
“Alhamdulillah ya Sha, semuanya berjalan lancar. Ini gebrakan baru yang hebat. Jangan pernah berhenti berinovasi ya,” puji Sarah saat melihat aktifnya anggota Muspala.
“Iya Kak, terima kasih sudah menyetujui ide gilaku ini ya,” ucap Akasha girang sembari merangkul erat pundak Sarah.
Tidak ada lagi yang mengganggu pikiran Akasha, seakan-akan beban yang menggelayuti pundaknya menghilang. Bukan hanya untuk dirinya, ia juga bisa membantu orang lain menemukan kebahagiaan tanpa harus keluar dari koridor ketakwaan.
Terima kasih Ibu, doa-doamu menjadi pemancar listrik paling mujarab! []
Photo Source by Google
Disclaimer: JURNALVIBES.COM adalah wadah bagi para penulis untuk berbagi karya tulisan bernapaskan Islam yang kredibel, inspiratif, dan edukatif. JURNALVIBES.COM melakukan sistem seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan JURNALVIBES.COM. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email redaksi@jurnalvibes.com