Opini

Rakyat Rempang Tuntut Keadilan di Negeri Demokrasi, Miris!

Negara wajib berfungsi sebagai pengatur urusan rakyat, melindungi rakyat, memenuhi kebutuhannya, dan mencegah siapa pun yang hendak mengambil hak rakyat. Negara haram berbuat zalim kepada rakyat sekalipun dengan alasan pembangunan, apalagi demi kepentingan oligarki.


Oleh Siti Eva Rohana, S.Si.

JURNALVIBES.COM – Hidup nyaman di kampung halaman masih menjadi impian warga Pulau Rempang. Hingga kini mereka masih terus berjuang, mempertahankan hak kepemilikan di hadapan pemimpin negeri mereka sendiri. Berita penundaan pengosongan pulau Rempang dengan tujuan memperpanjang tenggat waktu pendaftaran relokasi telah menambah kecemasan warga. Sebab itu artinya pemerintah tetap berencana merelokasi meski kepastian waktunya belum diketahui.

Selain kecemasan, dampak rencana relokasi yang dilakukan oleh pemerintah ini telah membuat masyarakat Rempang kesulitan mendapatkan pasokan pangan. Distributor takut untuk memasok barang karena status tempat tersebut yang hendak dikosongkan. Akibatnya persediaan bahan pangan pokok warga pun semakin menipis. Memilukan.

Pemerintah telah menetapkan pulau Rempang sebagai salah satu daerah yang masuk Program Strategis Nasional (PSN) 2023, yang akan dikembangkan sebagai kawasan industri, perdagangan, hingga wisata.
Tak tanggung-tanggung, pemerintah juga telah mencadangkan alokasi lahan di Pulau Rempang kepada PT Makmur Elok Graha (MEG) seluas 17.000 hektar, sebuah pabrik kaca dengan rencana investasinya senilai Rp. 176 triliun. (harianjogja, 29/9/23)

Rencana tersebut tentu ditolak oleh warga, sebab mereka telah tinggal di pulau tersebut dalam kurun waktu yang lama. Jika warga menerima maka mereka harus kehilangan sumber kehidupan yang dibangun selama ini.

Adapun tawaran pemerintah terkait ganti rugi, warga merasa hanya sekadar janji pemanis bibir, sebab faktanya lokasi pemindahan belum siap. Ditambah belum ada dasar hukum terkait anggaran untuk kompensasi rumah pengganti, uang tunggu, dan hunia sementara bagi warga.

Mirisnya masyarakat Rempang telah berupaya untuk melegalkan tanahnya, namun tak kunjung di penuhi. Apa daya, permohonan warga terkatung-katung. Akibatnya mereka tidak memiliki bukti legal kepemilikan tanah.

Di sisi lain, anggota Ombudsman RI Johanes Widijantoro telah mengungkap penerbitan pencadangan alokasi lahan ini berjalan tidak sesuai dengan ketentuan, karena belum terbit sertifikat Hak Pengolahan Lahan (HPL). Sertifikat tersebut menjadi penanda bahwa tidak ada penguasaan dan bangunan di atas lahan yang di mohonkan alias clear and clean. Sepanjang tidak ada sertifikat penguasaan dan bangunan atas pulau Rempang, maka relokasi warga tidak memiliki kekuatan hukum. (harianjogja, 29/9/23)

Jika demikian maka konflik ini menunjukkan bahwa kedaulatan bukan berada pada tangan rakyat, namun justru ada di tangan pengusaha kapitalis. Sungguh ironis, terlebih secara nyata terlihat pemerintah lebih berpihak pada pengusaha kapitalis alias oligarki ketimbang rakyatnya. Rakyat dituntut tunduk pada ketentuan pemerintah, padahal sejatinya rakyat jauh memiliki hak sementara di saat yang sama pemerintah justru yang tidak memiliki dasar hukum.

Meskipun telah tercium aroma ketidakadilan, tetap saja pemerintah berambisi menyelesaikan kasus ini. Konon karena mereka yakin bahwa perkara tersebut akan selesai seiring dengan pengalaman pemerintah dalam menangani konflik serupa di berbagai daerah. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi memastikan investor asing asal Cina tetap berkomitmen untuk melanjutkan investasi di pulau Rempang.

Para perumus kebijakan negeri bisa jadi memang telah terbiasa menangani konflik agraria, sebab kasus di Pulau Rempang bukanlah kasus pertama. Namun dengan berdalih proyek strategi nasional dan mengejar pertumbuhan ekonomi, sama artinya mempertaruhkan nasib rakyat. Andai pun ada relokasi dan ganti rugi, nyatanya tak sebanding dengan keuntungan proyek yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.

Dalam pembangunannya, Indonesia memang mengandalkan investasi. Maka wajar jika kebijakan yang dikeluarkan pemerintah selalu saja berpihak kepada para investor. Beginilah realisasi dari prinsip Kapitalisme, peran negara yang seharusnya membela kepentingan rakyat tereduksi dan beralih pada pemilik modal. Maka jadilah kedaulatan rakyat sekedar jargon demokrasi, sebab negara mendahulukan kepentingan diri dan para oligarki.

Persoalan agraria yang terus berulang di negeri ini baru akan selesai jika negara mau menjadikan Islam sebagai alternatif solusi dalam kehidupan menggantikan kapitalisme yang nyata-nyata telah gagal menyejahterakan rakyat.

Sebab dalam pandangan Islam, kedaulatan bukan berada pada rakyat, namun mutlak di tangan Assyari’ yaitu Allah Swt. Semua permasalahan akan dijawab dengan syariat secara tuntas. Tidak ada pihak yang diunggulkan, semua pihak baik penguasa, pengusaha dan rakyat setara di hadapan syariat.

Negara wajib berfungsi sebagai pengatur urusan rakyat, melindungi rakyat, memenuhi kebutuhannya, dan mencegah siapa pun yang hendak mengambil hak rakyat. Negara haram berbuat zalim kepada rakyat sekalipun dengan alasan pembangunan, apalagi demi kepentingan oligarki.

Allah Swt. berfirman,
اِنَّمَا السَّبِيْلُ عَلَى الَّذِيْنَ يَظْلِمُوْنَ النَّاسَ وَيَبْغُوْنَ فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّۗ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
“Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapat siksa yang pedih.” (QS Asy-Syura: 42)

Khalifah Umar bin Khathab pernah menegur Wali Mesir, Amr bin Ash ra. yang hendak menggusur seorang Yahudi karena rumahnya menghalangi proyek pembangunan masjid. Khalifah mengirim tulang busuk yang berasal dari belikat unta, dengan goresan huruf alif sederhana dari atas ke bawah yang dipalang di bagian tengahnya. Ini adalah tamsil agar Amr yang saat itu berkedudukan sebagai wali atau gubernur berlaku adil. Maka penggusuran pun batal dilakukan.

Ketakutan Amr bin Ash ra. terhadap teguran Khalifah Umar sebagai bagian dari ketakwaannya kepada Allah Swt. Ini membuktikan sosok seorang pemimpin negeri yang sadar akan kewajibannya sebagai seorang pemimpin untuk berbuat adil, hanya dapat terlahir dalam bingkai penerapan Islam secara kafah. Wallahu a’lam bishawab. []

Editor: Ulinnuha; Ilustrator: Fahmzz


Photo Source by bing.com

Disclaimer: JURNALVIBES.COM adalah wadah bagi para penulis untuk berbagi karya tulisan bernapaskan Islam yang kredibel, inspiratif, dan edukatif. JURNALVIBES.COM melakukan sistem seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan JURNALVIBES.COM. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email redaksi@jurnalvibes.com

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Articles

Back to top button