CerpenSastra

Secercah Cahaya di Negeri Tertutup

“Wait, apa kamu yakin semuanya ini dari Allah? Apa kamu yakin kehidupan ini yang menciptakan Allah?”
Bika tersenyum kecil, “Tentunya yakin”.


Oleh: Annisa Citra Dhiyaahaqqi (Pelajar SMAIT Insantama)

Mentari memaksa masuk ke dalam kamarku. Melewati celah jendela kaca besar khas kamarku. Mentari itu membuat suhu kamarku kian meningkat, merusak mimpiku yang indah. Memaksa mataku untuk terbuka.

Hai, namaku Friska. Anak dari seorang konglomerat. Orang tuaku adalah pemilik perusahaan terbesar di kotaku dan aku adalah seorang pelajar kelas 12 yang dituntut oleh orang tuaku untuk menjadi penerus mereka. Orang tuaku selalu memberikanku fasilitas terbaik untukku belajar. Mulai dari kamar yang nyaman, sekolah bergengsi, diberikan untuk menunjang masaku belajar. Kesempatan itu tentunya tidak pernah aku sia-siakan. Aku selalu memberikan hasil yang terbaik untuk orang tuaku. Nilai maksimal, berpuluh puluh piagam penghargaan kuberikan pada orang tuaku. Walaupun seperti itu, aku merasa hampa.

Related Articles

Entah beribu teman yang kutemui, beribu tiket ke luar negeri, berlembar-lembar uang, aku tetap hampa.
Aku memilih untuk kabur dengan berkedok sekolah di luar negeri. Aku diterima di beberapa universitas terbaik di dunia dan aku memutuskan untuk menerima tawaran di Harvard University.

Hari-hari selanjutnya, aku menyiapkan kebutuhanku. Terkadang aku merasa khawatir dengan kelanjutan rencanaku, tapi tekadku sudah bulat untuk “pergi”. Tidak nyaman rasanya berada di zona yang nyaman. Semuanya memanjakanku.

Hari itu datang. Setibanya aku di bandara, Mama langsung memelukku erat, air matanya jatuh mengenai bajuku. Tak terasa air mataku mulai jatuh.
“Hati-hati ya, Nak, Mama tunggu prestasimu di sini,” ucap lirih Mama.

Hatiku sangat pilu mendengar itu, aku hanya bisa mengangguk, suaraku tidak mampu untuk membalas. Segera aku masuk ke dalam bandara, melambaikan tangan ke Mama dan berpura-pura tegar walau sebenarnya hatiku ingin berlari kembali ke pelukannya.

Pesawatku mulai meninggalkan landasan. Kerlap-kerlip lampu di bawah membuat hatiku semakin berkecamuk. Maafkan aku Ma, aku hanya ingin tahu tentang kehidupan. Gumamku dalam hati, menjadi ucapan selamat tinggal dibersamai dengan pesawatku yang mulai mematikan lampu sabuk pengaman.

05.00, angka yang kulihat dalam jam tangan yang melingkar rapi di tangan kananku. Waktu yang tepat untuk mengawali hari-hariku di negara ini. Amerika. Aku segera mencari taksi untuk pergi ke hotel yang sudah Mama sewa jauh hari. Taksi mengantarkanku pada sebuah loby, yang berkesan elegan dan mewah. Aku segera check-in dan memasukkan seluruh barangku, segera kuhempaskan tubuh ke kasur yang empuk itu. Melepaskan penat setelah hampir 12 jam kududuk di pesawat itu. Tak terasa, mataku menutup dengan usaha untuk melepaskan penat.

Matahari mulai masuk dengan mudah melalui jendela kaca besar yang belum kututup, membuat mataku terganggu dengan itu. Aku terbangun dan memulai aktivitasku. Aku menyusun rencanaku selanjutnya, ditemani dengan beberapa lembar kertas dan laptop yang sudah menungguku. Aku mencari informasi. Tanganku sibuk untuk mengetik, mataku sibuk untuk menjelajah tulisan, berharap ada yang sesuai denganku. Got it.

Esoknya, pukul 8 pagi aku sudah siap dengan baju rapiku. Menyiapkan berkas-berkas. Untuk apa aku lakukan ini? Jawabannya, kuingin bekerja. Ini adalah salah satu rencanaku, aku tidak akan menggunakan uang Papa untuk kehidupanku di sini. Aku hanya menggunakan uang itu untuk membayar uang sekolahku. Singkatnya, aku melamar pekerjaan part time di sebuah perusahaan fast food. Di sana aku melamar menjadi pelayan, iya pelayan. Bukankah ini yang kudambakan? Hari-hariku mulai bewarna. Aku sibuk dengan kegiatanku. Menyiapkan sekolah, dorm, dan bekerja. Aku mulai lupa dengan kegalauanku. Kadang aku menyadari this is my real life. Aku merasa cukup hebat, bisa menghilangkan kegalauanku selama ini. Beberapa tahun aku di sini, aku seperti menemukan hidup baru. Selalu senang rasanya ketika aku harus dimarahi oleh bos, gajiku dipotong, namun itu menyenangkan.


Tapi hari itu berubah. Semua berubah. Aku mulai merasa kejenuhan yang sangat. Aku mulai kembali merasa putus asa. Kegalauan ini muncul lagi. Tapi saat ini beda. Aku benar-benar tak memiliki cara lagi. Aku bisa menangis seharian, menghancurkan beberapa barang, tidak mengikuti kelas, bahkan aku keluar dari pekerjaanku. Rasanya kuingin mengakhiri semuanya.


Hari ini, aku kembali masuk kelas. Setelah aku sedikit memiliki kendali pada hati dan pikiranku. Dandananku hari itu tak pernah kulihat. Mata sembab setelah aku menangis tak berusaha kuhilangkan. Ternyata hari itu adalah hari pengumuman bagi top’s student. Para top’s student ini akan dikirim untuk berkeliling benua untuk mempresentasikan tugas akhir dan “magang”, hal ini saat ditunggu tunggu, banyak anak yang berusaha keras untuk mendapatkan itu. Iya, aku masuk ke dalam top’s student itu. Tak usah dipungkiri.

Kami hanya diberi waktu dua pekan untuk mempersiapkan semuanya. Mulai dari persiapan pribadi hingga tugas akhir yang akan kami presentasikan. Seluruh dana akan ditanggung oleh kampus. Jadi kami benar-benar hanya menyiapkan diri kami saja.

Waktu keberangkatan pun datang. Aku hanya menarik koperku dengan lesu di antara teman-temanku yang menghiasi mereka dengan wajah cerianya. Tiba-tiba ada seseorang yang menempuk pundakku dari belakang.

“Kamu Friska?” tanya seorang gadis itu.
Aku melihatnya langsung tertegun. Gadis dengan gamis panjang dan kerudung syari-nya mengalihkan pandanganku.
“Iya, kenapa ya?” tanyaku pelan
“Oh hi, kenalin aku Bika, aku bakalan jadi roommate kamu,” ujarnya seraya menjulurkan tangannya.
“Oh hi aku Friska, orang Indo juga?”
“Iya, aku seneng bisa satu room sama orang Indonesia juga,” ujarnya sambil tersenyum manis.

Akhirnya kami berjalan berdua menuju pesawat. Sebenarnya entah kenapa aku merasakan kenyamanan ketika bersamanya. Serasa beban pikiran dan kegalauanku hilang. Aku mendengarkan beberapa cerita Bika, kadang ia juga melempar pertanyaan padaku sehingga aku harus bercerita juga padanya. Tak terasa aku sudah sampai di negara pertama kami. Inggris.

Satu kamar dengan gadis yang baru kukenal memang terasa agak aneh. Apalagi melihat Bika yang menggunakan hijab panjangnya, membuat ku teringat dengan berita-berita burung mengenai teroris. Hari demi hari aku semakin nyaman dengan Bika. Kami sering bercanda dan tertawa bersama. Bika sangat berbeda dengan yang aku kira. Bika tetap anak seumuranku yang mengasyikkan. Hingga aku bertanya padanya, tentang seluruh kegalauanku.

“Bika, aku mau nanya deh,”

“Apa tuu,” jawab Bika santai

“Bika, kamu pake hijab gitu dipaksa? Maaf kalau kamu tersinggung, tapi aku benar-benar cuma penasaran aja, kalau enggak mau dijawab enggak papa kok I know it.”

“Enggak kok, sama sekali enggak, its okey. Aku bakal jawab pertanyaanmu, aku berhijab syari semata-mata karena Allah, akhir-akhir ini aku mulai berusaha untuk tidak memikirkan hal dunia apa yang kudapatkan ketika aku berhijab syari. Sebenarnya ini dimulai dari pembiasaan Mama padaku untuk selalu melindungi diri dengan cara berhijab syar’i, karena fitrahnya manusia tetap masih memiliki nafsu, kita tidak tahu pandangan dan pikiran apa yang dilihat oleh lawan jenis, dan masyaallah Allah telah memberikan cara buat saling protect, dengan menundukkan pandangan dan salah satunya menutup aurat dengan sesuai ketentuan Allah.”

“Kamu enggak merasa terpaksa? Bukannya akhirnya hak memilihmu dihilangkan secara paksa?”

“Enggak tentunya, why? Karena balik lagi, kita hanya hamba Allah, tak sopan rasanya ketika kita menolak apa yang diperintahkan oleh Tuhan kita sendiri, anggap saja seperti ini, kamu pasti akan selalu berusaha untuk melaksanakan seluruh perintah atasanmu, nah itu kita juga harus memposisikan diri kita seperti itu. Selain itu, pemberian Allah pada kita sudah tidak bisa dipungkiri lagi, sangat tidak adil ketika kita diberikan kenikmatan yang amat banyak ini tapi kita tidak melakukan perintahnya.”

Wait, apa kamu yakin semuanya ini dari Allah? Apa kamu yakin kehidupan ini yang menciptakan Allah?”
Bika tersenyum kecil, “Tentunya yakin”.

“Why?”

“Lihat sekelilingmu, lihat bulan itu, lihat langit itu, apa kau tahu dari mana asalnya? Langit yang bisa berdiri sendiri tanpa ada yang menyangga, bulan yang bisa bersinar tanpa jatuh”.

“Bukannya dari teori Big Bang, teori yang didasarkan pada penelitian Edwin Hubble seorang astronom Amerika, dalam teori ini dia menyatakan bahwa alam semesta ini mempunyai titik mula dan suatu saat titik itu berkembang dan terus berkembang hingga akhirnya ia meledak, dan seluruh gas yang ada didalamnya tersebar dan berkumpul dan membentuk alam semesta ini,”

“Friska, kita coba bedah teori ini, ahli Fisika Matematis, Paul Davies, melakukan perhitungan panjang mengenai teori itu, Davies mengatakan kalau jika lebih 10-18 detik saja, maka alam semesta tidak akan pernah terbentuk, lihat angka di situ, sangan tepat dan detail, apakah kamu yakin bahwa angka itu terjadi dengan secara tak sengaja. Lihat fakta ini Friska, Bilim ve Teknik salah satu majalah ilmiah Turki mengutip sebuah artikel science, dan di dalamnya berisi, jika kerapatan alam semesta hanya sedikit lebih tinggi, menurut relavitas Einsten, alam semesta tidak akan mengembang akibat gaya-gaya tarik partikel-partikel atom, namun mengerut dan akhirnya melenyap pada satu titik. Jika kerapatan awal sedikit lebih kecil, maka alam semesta akan cepat mengembang, tapi atom tidak akan tertarik satu sama lain dan tidak akan adanya bintang ataupun galaksi, akibatnya manusia tidak akan pernah muncul. Kemungkinan alam semesta ini terjadi secara kebetulan sama seperti kemungkinan pensil bisa berdiri di atas ujungnya yang tajam selama 1 miliar tahun. Satu lagi Friska, Roger Penrose, seorang ahli matematika Inggris, membuat perhitungan pada kemungkinan teori Big Bang, dan kau tahu apa yang terjadi Friska, ia mendapatkan angka yang unforgetable, yaitu 1/1010 pangkat 123, can you see it, angka yang gila untuk kita katakan kalau ini sebuah sesuatu yang terjadi secara tidak sengaja. Tidak sengaja bagaimana kalau misalnya setiap detik bisa berbeda akhir, lalu siapa yang bisa mengkordinir seperti ini, mengkordinir suatu angka yang sangat gila ini. I know, you have a good brain, can you think it, how? Gimana? Alam semesta ini begitu teratur dengan angka yang sangat teratur seperti itu.”

Hatiku tersentak aku hanya bisa diam memaku. Betapa bodohnya aku selama ini. Angka-angka besar di setiap kertas Matematikaku terasa semakin sia-sia. Bodohnya aku, aku tak menyadari tentang ini semua.

“One more, kamu tahu soal bagaimana terciptanya diriku dan dirimu?”

“Biologi,”

“Iya masuk pelajaran Biologi, tapi apa kamu tahu kalau itu juga sudah diatur sedemikian rupa, apakah kau bisa tahu bagaimana sel sperma bisa mengetahui arah geraknya, arah kemana ia tahu sel ovum itu ada, apakah kamu tahu bagaimana caranya jika segumpal darah itu bisa terbagi dan terkordinir dengan baik untuk menjadi organ, dan mereka katakan bahwa terjadinya manusia adalah sebuah kebetulan. Apakah mereka tidak menggunakan akal mereka, ucapan mereka tidak jujur dengan hati dan akalnya, demi memuaskan nafsu kapitalisme dan liberalisme mereka. Aku jadi teringat satu ayat dalam al quran, dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat ayat allah) dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda tanda kekuasaan allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat ayat allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang orang yang lalai.”

Aku hanya bisa diam, tubuhku sangat lemas, seluruh tubuhku gemetar. Aku hanya bisa berlari ke kamar mandi, mengambil wudu dan segera melaksanakan salat. Di dalam salat itu aku menangis sejadi jadinya, semua itu terasa lembut. Setiap bulir air mata yang jatuh di sajadahku membuat hatiku terasa tenang. Selesai salat aku melihat Bika yang sudah bercucuran air mata sepertiku, aku berlari memeluknya, kami menangis sejadi jadinya. Sungguh tenang rasanya. Semua kegalauanku selama hidupku sirna begitu saja. Qadarullah, aku mendapat obat selama ini di negara kafir, negara yang jauh dari islam bahkan agama. []


Photo Source by Google

Disclaimer: JOURNALVIBES.COM adalah wadah bagi para penulis untuk berbagi karya tulisan bernapaskan Islam yang kredibel, inspiratif, dan edukatif. JOURNALVIBES.COM melakukan sistem seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan JOURNALVIBES.COM. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email redaksi@journalvibes.com

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button