Opini

Paradoks, Antara Pembagian Sertifikat dan Konflik Lahan

Seorang pemimpin yang baik tidak akan pernah menzalimi rakyatnya sendiri. Karena pemimpin itu menyadari bahwa suatu hari dia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. terhadap rakyat yang dipimpinnya


Oleh Yuli Juharini

JURNALVIBES.COM – Konflik lahan yang terjadi di Indonesia sangat banyak, dan sampai saat ini belum ada penyelesaiannya secara baik dan benar. Rakyat tetap yang dirugikan, walaupun ada pengganti dari lahan/tanah/rumah yang diambil, namun itu tidak sesuai dengan harapan yang rakyat inginkan. Dengan dalih tidak punya sertifikat atas sebuah lahan, negara dengan semena-mena mengambil paksa lahan yang bahkan sudah didiami selama bertahun tahun. Hal itu seolah-olah ingin membenarkan sebuah peraturan yang bertentangan dengan konstitusi negara Republik Indonesia.

Seperti yang terjadi baru-baru ini, ketika Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional (Perpres 78/2023). Jika sebelumnya, peraturan itu ditujukan untuk Pembangunan Strategi Nasional, maka peraturan yang baru itu, justru diperluas lagi untuk proyek-proyek selain Proyek Strategi Nasional. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Bapak Jokowi sengaja mempertahankan logika hukum sesat yang bertentangan dengan Konstitusi negara Republik Indonesia. (walhi, 21/12/2023)

Di lain kesempatan, Presiden Joko Widodo memberikan sambutan pada acara pembagian sertifikat tanah di Sidoarjo, Jawa Timur. Pada saat itu Bapak Jokowi menyerahkan 5.000 sertifikat tanah secara simbolis kepada 10 orang perwakilan yang berasal dari Surabaya hingga Jember. Dalam acara tersebut, beliau pun ditemani oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Hadi Tjahjanto, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, dan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Bapak Presiden pun mengatakan bahwa dari 126 juta lahan, baru 46 juta lahan yang mempunyai sertifikat. (detik, 28/12/2023)

Sungguh menarik ketika Presiden bagi-bagi sertifikat kepada rakyatnya, hal itu bertujuan agar tidak ada lagi perampasan atau konflik lahan terhadap orang -orang yang sudah mempunyai sertifikat. Benarkah demikian? Teori dan praktik ternyata sangat jauh berbeda. Nyatanya, begitu banyak lahan yang bersertifikat, namun tetap diambil secara paksa. Ketika ada perlawanan dari rakyat, dibalas dengan semburan gas air mata, dan lain-lain. Dengan dalih untuk proyek strategis nasional, seakan-akan negara itu punya wewenang untuk mengambil tanah/lahan dari rakyat sendiri.

Belum lagi dengan adanya peraturan presiden terbaru, yang tidak hanya fokus pada proyek strategi nasional saja, melainkan juga untuk proyek-proyek yang lain. Apakah hal itu malah tidak menimbulkan masalah di kemudian hari?

Bisa saja ketika ada investor asing masuk ke Indonesia, menawarkan kerjasama dengan segala macam bentuk proyeknya, asalkan mendapat lahan, maka negara akan menerima dengan tangan terbuka. Mengingat saat ini negara menjalankan korporatokrasi, di mana pemerintahannya bersifat layaknya sebuah perusahaan. Ditambah sistem yang digunakan adalah kapitalis sekuler yang mengutamakan keuntungan semata.

Ketika sebuah sistem yang digunakan adalah sistem buatan manusia, maka dapat dipastikan sistem itu tidak baik untuk manusia itu sendiri. Karena pada dasarnya manusia mudah terpengaruh, mudah berubah. Jadi peraturan pun dapat diubah sesuai dengan pesanan yang sarat dengan kepentingan. Tidak ada lagi pertimbangan halal haram dalam membuat peraturan. Hukum syara benar-benar sudah ditinggalkan.

Lain halnya ketika negara menerapkan hukum Islam. Karena setiap perbuatan dalam Islam itu harus sesuai dengan hukum syara, yaitu wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Peraturan hidup dalam Islam pun bersifat baku atau tetap, karena bersumber dari Al-Qur’an dansunah. Sistem Islam itu sesungguhnya jika diterapkan akan membawa kemaslahatan bagi umat.

Sebagai seorang pemimpin dalam Islam, tidak akan berani semena-mena terhadap rakyat yang dipimpinnya. Terkait masalah apa pun itu. Termasuk masalah pertanahan. Seorang pemimpin yang baik menurut Islam, tidak akan pernah menzalimi rakyatnya sendiri. Karena pemimpin itu menyadari bahwa suatu hari dia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. terhadap rakyat yang dipimpinnya. Wallahu a’lam bishawab. []

Editor: Ulinnuha; Ilustrator: Fahmzz


Photo Source by canva.com

Disclaimer: JURNALVIBES.COM adalah wadah bagi para penulis untuk berbagi karya tulisan bernapaskan Islam yang kredibel, inspiratif, dan edukatif. JURNALVIBES.COM melakukan sistem seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan JURNALVIBES.COM. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email redaksi@jurnalvibes.com

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Articles

Back to top button