CerpenSastra

Titik Berakhir Koma

Titik adalah tanda berakhirnya sebuah kisah. Layaknya kematian yang merupakan ujung dari perjuangan, awal dari sebuah keabadian.


Oleh Nurina Hasna Kamila

JURNALVIBES.COM – Bola mata itu menatap ke arah taman di depan rumahnya. Pohon-pohon rimbun berjejer beririsan dengan pagar, menutupinya mengelilingi pekarangan. Rumput hijau bertutup daun jingga yang berguguran. Walau bukan daun maple yang tumbuh, tapi masih terlihat indah daun-daun itu terkapar di rerumputan.

Related Articles

Angin semilir membawa udara hangat ke teras rumah tersebut. Langit senja bertengger, seakan enggan mentari pamit dari mata yang memandangnya.S emburat cahaya surya mengintip dari balik awan. Lelah seharian menahan senyum, kini saatnya perlahan-lahan bersembunyi dalam kandang. Di teras rumah berdinding putih dengan atas genteng tanah liat. Kursi reot yang didudukinya, bersanding dengan meja kayu dengan secangkir kopi yang mengepul tanda masih panas.

Pemuda tampan tersebut duduk dengan syahdu. Rambutnya rapi disisir, matanya menyorot tajam dihiasi tahi lalat di tulang pipi kanannya. Tangannya santai bersandar di bahu kursi. Sesekali ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Ini adalah pemandangan yang tiap harinya ia nikmati. Kala dunia sedang dalam bayang-bayang resesi, wajahnya tenang syahdu seakan tak peduli.

Dilihatnya kopi hitam yang menggenang di cangkir putih. Uap terlihat kontras dengan langit yang semakin menggelap. Pemuda tersebut mencoba untuk menyeruput sedikit kopi, namun terhenti ketika bibir menyentuh cairan tersebut.

“Ah, panas! Rasanya mulut ini bisa terbakar jika meminumnya. Mungkin kutiup sebentar dulu,” pikir pemuda tersebut.

“Fuuh, fuuh,” berkali-kali ia meniup kopi itu, tapi tidak ada perubahan sama sekali. Kopi tersebut masih terasa panas.

“Hahh, ya sudah lah,” akhirnya dia meletakan kembali cangkir tersebut di meja.

Wuush …., tiba-tiba entah dari mana, berhembus angin yang sangat kencang, satu hembusan yang cukup kencang mengarah padanya. Matanya mengerjap-ngerjap, hampir saja kelilipan. Ia lalu menyadari sesuatu, tidak ada lagi uap yang mengepul di atas. Dalam sekejap kopi tersebut sudah tidak panas lagi. Disentuh cangkirnya tersebut, dan Ia pun meminumnya perlahan.

Tampak senyum kecil terukir di bibirnya. Matanya tertutup menghayati setiap tegukan kopi. Ia lalu mengarahkan pandangannya jauh seperti mengenang sesuatu yang sudah lama sekali. Seperti mencoba mengumpulkan memori yang sudah lama tercerai-berai, mengingat setiap rangkaian adegan dalam hidupnya.

Senin, 3 Maret 2016. Gundukan tanah yang masih basah, langit sendu yang dipayungi awan.
Air mata menetes, Pemuda tersebut belum juga pergi dari pemakaman tersebut. Tampak di batu nisan tertulis, “Anton Wirahman bin Yahya Sugoni 1960-2016,”.

“Hiks.. Hiks.. Ayah, m-mengapa kau meninggalkanku hiks?”. Kini ia tak lagi punya tempat untuk bernaung. Pemilik rahim tempatnya bersemayam saat kecil pun sudah lama meninggalkannya, tak ada lagi petuah dari sosok kuat yang menguatkannya.

Hanya tersisa Ia dan saudar nya di dunia ini, tak ada kerabat yang sudi menolong mereka sejak dulu.

“Tes tes,” rintikan hujan membasahi pemakaman tersebut, seakan ikut larut dalam kesedihan Malik. Tak ada niat untuk berteduh, seluruh badannya pun sudah basah dalam dekapan hujan. Tiba-tiba terdengar suara anak perempuan yang sedikit serak memanggil namanya dengan lirih.

“Malik..”. Ia menengok ke arah suara. Di sebelahnya, tampak Alika, matanya sama sembabnya dengan tahi lalat di mata kirinya. “Aku malas ngurusin kalau kamu sakit, pakai payungnya,” dengan nada sok tegas ia menyodorkan payung di tangannya.

Seakan tuli, Malik tak bergeming, selama beberapa saat Ia tak mengucapkan apa-apa. “Buat kamu saja,” katanya sambil masih meratapi makam ayahnya. Tangan Alika masih menggantung, hujan bertambah deras, begitu juga dengan air mata Malik, pecahan hati yang masih basah yang bahkan belum pernah dicoba untuk dipungut.

“Srrupt,” pemuda tersebut menyeruput kopinya kembali. Matanya sedikit menyipit ketika merasakan kembali pahit kopi tersebut. Tiba-tiba masuklah seseorang ke halaman rumahnya. Seorang wanita berumur 20-an, dengan gaya pakaian sederhana, ia menggunakan gamis hijau dan rambutnya ditutupi tudung hitam.

Di bawah mata kirinya ada tahi lalat yang sama persis seperti yang dimiliki oleh pemuda tersebut. wanita tersebut membawa sebuah toples, dan berjalan menyusuri halaman rumah tersebut tanpa ragu seakan-akan memang itu tempatnya pulang. Tampak kebingungan di wajah Pemuda yang sedari tadi lebih dulu duduk di teras, heran siapa wanita yang tiba-tiba masuk tanpa permisi ke rumahnya.

Wanita tersebut berdiri di depannya, ia tersenyum tulus ke arahnya. Tatapan mata mereka bertemu, saling menatap. Pemuda tersebut dengan tatapan kebingungan dan senyuman wanita tersebut yang bakal lebih membingungkan. Tanpa berbicara sedikitpun ia memberikannya toples yang ternyata berisi bubuk kristal berwarna putih, tampaknya itu gula.

Pemuda tersebut tampak bingung ketika menerima toples putih tersebut, “Kenapa tiba-tiba ada wanita yang dengan seenaknya masuk ke rumahku, dan lalu tiba-tiba memberikanku gula? Bahkan lebih membingungkannya lagi, bagaimana wanita itu tahu bahwa Aku sedang membutuhkan gula?” pikirnya.

Diputarnya tutup toples dan seketika wanita tersebut menghilang dari pandangannya, seperti debu yang terbawa angin. Masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi, pemuda tersebut lalu memasukkan beberapa sendok gula ke cangkir dan menyeruputnya kembali, “Sruppt, manis,” senyumannya merekah lebih indah dari sebelumnya. Sungguh nikmat meminum kopi di kala matahari sedikit demi sedikit hilang dari cakrawala.

Semakin sedikit cahaya yang tersisa, warna langit sudah tak karuan indahnya, berteman awan yang juga kian menipis, menyisakan secercah cahaya jingga berbalut langit merah yang sendu.

“Malik!” dengan suara kesal Alika melempar payung yang dibawanya dan berteriak, “Sampai kapan mau disini? Ayah sudah pergi, lalu apa? Kita mau diam saja? Kamu nggak ingat dengan mimpi kamu? nggak ingat sama mimpi ayah? Mungkin ayah bisa saja wafat, tapi mimpinya tidak boleh mati, Tuhan pasti punya rencana di balik semua takdir-Nya” dengan k terisak Alika meneriaki kakaknya tersebut.

Sekejap suasana hening, hanya suara deras hujan yang ada. Malik hanya terdiam, masih dalam sikap yang sama. Tiba-tiba terdengar suara “Hik, hik.. Ali..” isak Malik, “Maaf.. aku harusnya jadi kakak, aku harusnya yang selalu ada untukmu,”. Malik pun berdiri, seluruh tubuhnya sudah basah, mata nya bengkak, seluruh mukanya merah. Ia berdiri di hadapan Alika dan menatap ya lamat-lamat. Barulah terlihat betapa miripnya mereka berdua. Keduanya bertatapan, dengan air mata yang siap untuk menumpahkan lelahnya. Saat tak ada lagi kata yang mampu menjelaskan isi hati. Berbicara lewat tatapan mata, mencoba menguatkan dan saling memahami. Gemetar seluruh tubuh dan perasaan keduanya tak dapat lagi yang menahan, pecah tangisan keduanya, mereka berpelukan dalam payungan hujan. Bersisian air matanya, dari hulu ke hilir, dihapuskan oleh air hujan dan lalu turun lagi hingga tak ada habisnya.

Angin semilir menerbangkan daun-daun di taman halaman rumah nya. Langit semakin gelap, hampir maghrib. Banyak yang terjadi sore ini, tak ada lagi tapi yang dapat diceritakan. Waktu singkat yang penuh bermakna. Ceritanya cukup sederhana. Dengan tokoh yang tak terlalu banyak. Tidak tahu ending macam apa yang tercipta, pesan apa yang sebenarnya penulis ingin sampaikan. Tapi semoga pembaca dan pemeran cukup beruntung untuk mengambil sesuatu di sini. Tapi sepertinya ini cukup. Pemuda tersebut menyandarkan punggungnya di kursi reot yang sedari tadi menahan beban tubuhnya. “Ngiik,” tampaknya sudah tua sekali kursi tersebut, seakan-akan dapat rubuh setiap kali tubuhnya bergerak.

Tiba-tiba kursi tersebut berbicara “Sudah cukup Nak?” Pemuda tersebut tampak tak terkejut dengan kejadian tak biasa tersebut. Ia menutup matanya dan menarik napas panjang-panjang “Sudah yah,” dan matahari pun sepenuhnya tenggelam. Menyisakan gelap tanpa bintang. Hari yang ramai sudah selesai, digantikan malam yang hening. Alam seakan berhenti bernapas, tak ada lagi angin yang mengibas.

“Tiit, tiit, tiit,” Suara monitor ICU nyaring terdengar. Terlihat naik turun detak jantung dari layar. Seluruh ruangan bertemakan warna putih, mulai dari dinding, atap, kasur, dan selang. Seseorang tertidur lelap, dengan muka pucat dan hidungnya tertancap alat pembantu pernapasan. Mengalir cairan infus di selang yang menyambung di tangan kirinya. Kedua matanya menutup, meninggalkan tahi lalat di tulang pipi kanannya sendirian.

Tampak wanita berkerudung hitam terlelap tidur di sebelah ranjangnya, masih dalam posisi duduk. Semalaman menemani pemuda tersebut. Bukan hanya malam itu saja Ia menginap di Rumah sakit, sudah tiga kali kalender berganti. Namun, belum ada tanda-tanda harapan untuk Ia meninggalkan rumah sakit. Tiba-tiba mata wanita tersebut mengerjap dan terbangun, masih setengah sadar. Dilihatnya cahaya matahari yang menyelinap dari balik tirai. Sudah pagi. Sarapan sudah diantarkan oleh suster, mungkin diantar ketika Ia tertidur. Dilihatnya bingkai foto di meja sebelah kasur, sebuah foto keluarga kecil sederhana yang hangat, seorang Ayah dan dua anak kembar dengan tahi lalat di mata keduanya. Mereka bertiga tampak bahagia berfoto di depan teras rumah berdinding putih, dengan taman indah dan daun berguguran. Lalu, dipandanginya wajah pemuda tersebut, Ia menggenggam tangan saudaranya tersebut, dingin.

Sudah berbulan-bulan Malik sakit, tak kunjung sembuh. Semenjak kecelakaan motor yang menimpanya, luka di kepalanya membuatnya mengalami koma. Alika tidak tahu harus bagaimana lagi, dokter sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, sakit di tubuhnya belum kunjung sembuh.

“Mau berapa lama lagi kak? Aku curiga lakak mau ikut Ayah dan Ibu duluan. K-Kalau memang benar seperti itu..” Terisak, matanya mulai panas dirasa, hidungnya kembang kempis, sedikit tak rela jika harus ditinggalkan oleh keluarga satu-satunya yang tersisa, “Kalau memang benar seperti itu, Aku tak masalah. Aku lebih tak kuat melihat lakak seperti ini terus. Huu, Huu, aku ikhlas kok. Aku bisa jaga diri. Jika memang harus seperti itu, jika memang Tuhan mengizinkan, Aku ikhlas..” Lagi, air matanya menetes lagi seperti tujuh tahun yang lalu. Sama seperti ketika Ia dan Malik ditinggal ayah untuk selamanya. Bedanya kini Ia menangis sendirian, tak ada lagi yang menguatkan dan memberikan dekapan hangat.

Wanita tersebut memaksa tersenyum sambil terus menangis. Gemetar seluruh tubuhnya mati-matian menahan tangis. Seakan-akan dapat merasakan tetesan air mata yang membasahi tangannya, tiba-tiba keluarlah setetes air mata dari mata kiri Malik. Lalu, “Tiit..” Satu nada panjang yang tak berakhir terdengar dari monitor ICU, hingga titik diakhiri dengan koma.

Bogor, 13 Maret 2023

Editor: Ulinnuha; Ilustrator: Fahmzz


Photo Source by canva.com

Disclaimer: JURNALVIBES.COM adalah wadah bagi para penulis untuk berbagi karya tulisan bernapaskan Islam yang kredibel, inspiratif, dan edukatif. JURNALVIBES.COM melakukan sistem seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan JURNALVIBES.COM. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email redaksi@jurnalvibes.com

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button