Opini

Proposional Menyikapi Fenomena Kawin Anak

Negara berperan besar menyiapkan warganya untuk memasuki jenjang pernikahan. Edukasi pernikahan bahkan dimasukkan dalam kurikulum yang meliputi berbagai hal terkait rumah tangga seperti hak dan kewajiban suami-istri, pola asuh, pemenuhan gizi, ekonomi dan lain-lain.


Oleh Inge Oktavia Nordiani

JURNALVIBES.COM – Beberapa waktu belakangan terakhir Kementrian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) gencar melakukan Seminar Sosialisasi Cegah Kawin Anak.

Dilansir dari Kemenag (26-9- 2024), tema besar agenda seminar ini adalah Cegah Kawin Anak untuk Mewujudkan Generasi Berkualitas. Bertempat di Medan tepatnya di Hotel Aryaduta pada tanggal 26 September 2024. Seminar ini diselenggarakan oleh Kanwil Kemenag Propinsi dan Dit. Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI.

Narasumber acara seminar di atas antara lain Woro Srihastuti Sulastyaningrum, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kemenpo PMK. Dewi Sri Sumanah, Head of Media Save The Children Indonesia dan Ahmad Qosbi, Kakanwil Kemenag Provinsi Sumut.

Woro memaparkan tentang kebijakan, program dan strategi nasional pencegahan dan perkawinan anak. Hal yang mengejutkan, beliau mengungkapkan bahwa angka perkawinan anak di Indonesia tertinggi ke-4 di dunia. Narasumber Dewi Sri Sumanah Head of Media Save The Children Indonesia mengungkapkan pernikahan usia dini di Karo pada masa Pandemi Covid-19, meningkat hingga 500%.

Fakta yang tidak kalah memilukan, perkawinan anak menjadi pemicu utama anak putus sekolah. Dampak lainnya adalah KDRT dan meningkatkan depresi perempuan. Kemenag sendiri telah mengambil peran dalam upaya pencegahan kawin anak diantaranya, program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS), Bimbingan Remaja Usia Nikah (BRUN), Bimbingan Perkawinan (Bimwin), pusat layanan keluarga Sakinah, Penyuluhan dan Gerakan Keluarga Sakinah bersama PBNU.

Edukasi semacam ini memang terlihat baik, mengingat ada harapan besar pada generasi yaitu masa depan yang harus terencana. Menjadi sesuatu yang tidak salah dan tampak baik-baik saja ketika pemerintah merespon seperti itu. Sebab masyarakat hidup dalam dekapan kapitalisme sekuler yang menelurkan pola kehidupan yang jauh dari kehidupan agama. Sehingga dorongan terjadinya kawin anak bukanlah karena ibadah pada Allah Swt.

Hanya saja, edukasi yang dilakukan pemerintah tampak tidak proporsional dan tidak berimbang. Seharusnya pemerintah memandang masalah dengan penuh kejelian. Apa sebenarnya yang menyebabkan generasi rusak dan tidak terjamin kualitas masa depannya sehingga bisa menyebabkan menikah di usia muda.

Salah satu faktor terjadinya kawin anak adalah tradisi nenek moyang, Hal ini seharusnya bisa diatasi dengan edukasi persuasif yang massif. Namun di luar daripada itu, seharusnya pemerintah dapat menemukan faktor lain penyebab kawin anak yaitu terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan akibat gaul bebas. Ini artinya terdapat PR besar bagi penguasa negeri ini untuk memutus mata rantai terjadinya perilaku seks bebas. Slogan nikah dini dihalangi, gaul bebas difasilitasi menjadi slogan yang sahih tak terbantahkan.

Pada saat program ini diarusderaskan di berbagai wilayah yang diklaim sebagai alasan lahirnya generasi tidak berkualitas, di satu sisi upaya untuk menutup kran lainnya luput dari kajian analisis. Misalnya, derasnya arus pornografi yang sampai hari ini belum berhasil ditanggulangi. Efek dari hal ini adalah pemerintah menelurkan kebijakan pro seks bebas dalam PP no. 28 tahun 2024 yang baru saja di sahkan dengan indikasi pelegalan alat kontrasepsi bagi pelajar. Dampaknya trend hubungan seks di luar nikah di kalangan remaja usia 15-19 tahun justru kian meningkat.

Seharusnya pemerintah lebih fokus pada kebijakan inti sehingga dapat mencegah anak terjerumus pada pergaulan bebas yang nyatanya mengancam masa depan dan merusak kualitas remaja. Tingkat kematangan organ reproduksi anak-anak tidak diimbangi dengan kematangan cara berpikir. Terbukti secara ilmiah pornografi merusak lima bagian otak yang kerusakannya sama dengan kerusakan orang yang mengalami kecelakaan mobil kecepatan tinggi.

Kerusakan yang diserang adalah Pre Fortal Korteks (PFC) yang merupakan salah satu bagian penting untuk membedakan benar dan salah. Awalnya ketika melihat pornografi reaksi yang ditimbulkan adalah jijik. Hal ini terjadi karena manusia memiliki sistem limbik yang mengeluarkan hormon dopamin untuk menenangkan otak, Tetapi juga akan memberi rasa senang, bahagia sekaligus ketagihan.

Dopamin mengalir ke PFC, yang menjadi tidak aktif karena terendam dopamin. Apabila dopamin semakin banyak maka seseorang akan timbul rasa penasaran dan semakin ketagihan. Akhirnya PFC akan semakin mengkerut dan mengecil dan lama-kelamaan menjadi tidak aktif (Sardjito, 30 Oktober 2019).

Pencegahan perkawinan anak sejatinya adalah amanat Sustainable Developmet Goals (SDGs) yang merupakan program Barat yang harus diwujudkan juga di negeri-negeri muslim.Tentu saja program tersebut terpijak pada paradigma barat, yang nyata-nyata bertentangan dengan syariat islam.

Islam berbeda dengan kapitalisme. Dalam Islam, negara (khilafah) yang menerapkan sistem Islam dalam berbagai aspek kehidupan memiliki paradigma bahwa tujuan pembangunan adalah mewujudkan rahmat bagi seluruh alam dan membentuk umat terbaik. Keimanan kepada Allah Swt. menjadi landasan pembangunannya. Ketundukan pada syariat menjadi spirit pembangunan. Dengan begitu manusia akan dijauhkan dari segala bentuk kemaksiatan yang didorong oleh hawa nafsu.

Anak-anak akan dibekali dengan pendidikan (taklim) dan pembinaan (tasqif) secara optimal. Kepribadian (syakhsiyah) mereka digembleng sehingga saat baligh telah siap dengan berbagai taklif hukum, termasuk pernikahan. Dalam Islam, menikah usia muda tidak masalah jika syarat dan rukun nikah terpenuhi dan tidak ada pelanggaran hukum syara` yaitu kehamilan yang tidak diinginkan.

Seseorang harus bertanggung jawab atas pilihannya tersebut dan tidak main-main. Dalam Islam juga tidak ditentukan batas usia pernikahan baik laki-laki dan perempuan. Rasulullah saw. bersabda, “Nikah itu sunahku. Siapa yang membenci sunahku maka bukan dari golonganku”.

Negara berperan besar menyiapkan warganya untuk memasuki jenjang pernikahan. Edukasi pernikahan bahkan dimasukkan dalam kurikulum yang meliputi berbagai hal terkait rumah tangga seperti hak dan kewajiban suami-istri, pola asuh, pemenuhan gizi, ekonomi dan lain-lain.

Negara juga menjaga warganya agar terhindar dari pergaulan bebas laki-laki dan perempuan. Negara juga menjamin kesejahteraan ekonomi rakyatnya melalui sistem ekonomi Islam. Begitu juga keberadaan media ditujukan untuk semakin menguatkan kepribadian Islam.

Dengan kerja sama yang baik antar berbagai elemen baik individu, masyarakat dan negara, kasus perkawinan dini akibat kehamilan tidak diinginkan bisa dicegah. Wallahu a’lam bishawab. []

Editor: Ulinnuha; Ilustrator: Fahmzz


Photo Source by copilot.com

Disclaimer: JURNALVIBES.COM adalah wadah bagi para penulis untuk berbagi karya tulisan bernapaskan Islam yang kredibel, inspiratif, dan edukatif. JURNALVIBES.COM melakukan sistem seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan JURNALVIBES.COM. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email redaksi@jurnalvibes.com

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button