KKN Keniscayaan dalam Sistem Demokrasi ?

Kolusi dan korupsi akan dapat dicegah dalam negara yang menjalankan aturan Islam secara kafah. Negara akan memberikan sanksi yang menjerakan bagi pelaku berupa sanksi takzir. Di mana bentuk dan kadarnya didasarkan pada ijtihad khalifah.
Oleh Sulistijeni
(Pegiat Literasi)
JURNALVIBES.COM – Pemerintahan di era reformasi selalu gagal melakukan upaya pemberantasan korupsi dan kolusi yang seolah-olah berjalan beriringan. Apalagi dengan semakin menguatnya cengkeraman korporatokrasi di dunia politik.
Seperti yang dilansir kumparan (20-6-2025), Presiden Prabowo Subianto menyatakan ada bahaya besar yang mengintai Indonesia sebagai negara berkembang. Bahaya itu merupakan state capture yaitu kolusi antara kapital besar dan pejabat pemerintahan serta elite politik. Di mana kolusi tersebut tidak akan membantu mengentaskan kemiskinan atau memperluas kelas menengah.
Sebagaimana yang dirilis tirto (17-6- 2025), penyidik Kejaksaan Agung telah melakukan penyitaan uang Rp11.880.351.802.619 atau Rp11,8 triliun dari terdakwa korporasi Wilmar Group. Uang itu disita setelah pihak terdakwa kasus korupsi ekspor CPO mengembalikan kepada penyidik Kejaksaan Agung dan terungkap adanya praktik korupsi yang melibatkan Wilmar dan beberapa anak usahanya. Ada dugaan kuat bahwa perusahaan-perusahaan itu menyuap pejabat untuk mempercepat proses ijin ekspor CPO. Dari kasus tersebut negara mengalami kerugian yang signifikan.
State capture sejatinya merupakan keniscayaan dalam sistem politik demokrasi kapitalisme sekuler yang diterapkan hari ini. Di mana dunia dijadikan sebagai tujuan yang bahkan menghalalkan dengan segala cara. Sistem demokrasi kapitalis sekuler meniscayakan terjadinya politik transaksional, karena penguasa membutuhkan banyak modal untuk maju dalam kontestasi yang membutuhkan kucuran dana besar dari pengusaha. Pengusaha akan menuntut balas budi dalam bentuk kebijakan penguasa yang terpilih, dengan bantuan pengusaha tersebut.
Dengan semakin maraknya kasus kolusi dan korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa kejahatan ini sudah mengakar, dan sudah menjadikan sebagai sebuah budaya. Penanganan kasus-kasus dan penegakan hukum pun tidak bisa memberikan pengaruh terhadap berkurangnya kasus kolusi dan korupsi. Bahkan semakin hari semakin menjadi-jadi.
Problem ini menjadi permasalahan yang besar, baik kolusi dan korupsi di kelembagaan maupun politik yang terkait dengan kekuasaan. Mulai dari wakil rakyat yang duduk di pemerintahan, pejabat kementerian, pemimpin dan pejabat daerah, BUMN bahkan aparat hukum hingga perguruan tinggipun banyak yang terjerat kolusi dan korupsi. Pelaku yang masih aman malang melintang jumlahnya pun tidak terhitung lagi.
Dalam sistem demokrasi kolusi dan korupsi sudah menjadi keniscayaan, apalagi ini sudah menjadi budaya turun temurun yang diwariskan sejak zaman penjajah. Juga akibat lemahnya birokrasi dan sistem hukum yang berperan dalam melembagakan perilaku korup. Ditambah dengan berkembangnya teknologi yang membuat modus kolusi dan korupsi semakin beragam.
Meskipun berbagai perangkat hukum, baik lembaga maupun undang-undang dibuat, namun nyatanya tidak mudah memberantas korupsi yang semakin mengakar.
Sistem demokrasi yang diduga kuat menjadi biang mewabahnya kolusi dan korupsi. Ini menunjukkan betapa buruknya sistem yang diterapkan hari ini. Karena sistem ini tegak di atas paham sekuler liberal yang menafikan agama atau prinsip halal haram dalam kehidupan. Wajar jika kolusi dan korupsi menjadi sebuah keniscayaan dalam sistem yang menghalalkan kebebasan berperilaku ini. Meskipun sudah ada undang-undang yang ditegakkan penuh syarat dan kepentingan, apalagi yang semuanya dibuat dari pemikiran manusia yang berbeda-beda.
Untuk mendapatkan jabatan dalam sistem demokrasi biayanya sangat mahal. Maka sangat wajar jika kolusi dan korupsi senantiasa terbuka lebar untuk dijadikan ajang mengembalikan modal. Makanya sampai hari ini kasus korupsi merebak sangat luas dan sulit untuk diberantas.
Berbeda dengan Islam yang menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam kehidupan bagi setiap individu, termasuk juga menjadikan asas bagi negara. Akidah Islam ini akan menjadikan setiap individu berbuat jujur dan tidak menjadikan jabatan sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri dengan cara melakukan kecurangan.
Akidah Islam akan melahirkan ketakwaan pada diri individu yang akan melaksanakan perbuatannya sesuai dengan perintah Allah Swt. dan ini akan menjadi kontrol internal. Para pejabat akan selalu memperhatikan perilakunya agar sesuai dengan perintah Allah Swt, dan menghindari perilaku yang dilarang-Nya.
Islam memandang jabatan adalah amanah yang harus dijalankan sesuai dengan tuntunan hukum syara, karena semua akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Swt. Oleh karena itu Islam akan menghimpun pejabat-pejabat yang bervisi untuk melayani umat. Motivasi menjadi pejabat adalah semata untuk meraih rida Allah, dan semata untuk mengurusi urusan umat.
Islam juga memiliki mekanisme untuk menjaga integritas setiap individu rakyat maupun pejabat, termasuk dalam hal sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Oleh karena itu kolusi dan korupsi akan dapat dicegah dalam negara yang menjalankan aturan Islam secara kafah. Negara akan memberikan sanksi yang menjerakan bagi pelaku berupa sanksi takzir. Dimana bentuk dan kadarnya didasarkan pada ijtihad khalifah atau kadi. Sebagaimana yang dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. dengan penyitaan harta atau sanksi tasyhir yaitu pidana penjara hingga hukuman mati jika sampai menyebabkan dharar bagi umat atau negara. Demikian juga pada masa Umar bin Abdul Aziz sanksi bagi koruptor berupa cambuk dan ditahan dalam waktu yang lama.
Demikianlah pemberantasan kolusi dan korupsi dalam Islam yang mampu menyelesaikan permasalahan secara tuntas sampai ke akarnya. Hanya dengan Islam yang mampu mewujudkan pemerintahan bersih dan melahirkan kehidupan umat manusia yang adil serta sejahtera. Semua itu hanya bisa diwujudkan dengan diterapkannya Islam secara kafah dan dalam kehidupan. Wallahu a’lam bishawab. []
Editor: Ulinnuha; Ilustrator: Fahmzz
Photo Source by canva.com
Disclaimer: JURNALVIBES.COM adalah wadah bagi para penulis untuk berbagi karya tulisan bernapaskan Islam yang kredibel, inspiratif, dan edukatif. JURNALVIBES.COM melakukan sistem seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan JURNALVIBES.COM. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email redaksi@jurnalvibes.com