Opini

Pajak PPN Naik Lagi, Ini Negara atau Pemalak?

Tidak ada jalurnya pajak bisa menjadi pondasi yang kuat untuk ekonomi negara. Yang ada, rakyat yang sudah tidak diurus oleh penguasanya sendiri, semakin tertekan dengan adanya pajak.


Oleh Nonik Sumarsih
(Aktivis Dakwah Kampus Surabaya dan MahasiswiPascasarjana)

JURNALVIBES.COM – Marhaban ya Ramadhan, marhaban ya harga mahal. Jika Ramadhan tahun sebelumnya, kaum Muslimin harus berhadapan dengan ganasnya pandemi Covid-19, kali ini kaum Muslimin harus berhadapan dengan ganasnya kebijakan. Sebelum Ramadhan, rakyat mau tidak mau menghadapi tekanan hidup yang semakin rumit, mulai dari prahara minyak goreng, kenaikan BBM jenis pertamax, solar, kemudian ditambah kenaikan pajak PPN.

Related Articles

Kebijakan ini disampaikan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Menkeu mengatakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11 %, dari semula 10 % akan berlaku pada 1 April 2022. Kebijakan ini diklaim sebagai bentuk menciptakan fondasi pajak negara yang kuat.

Demi menguatkan logika kebijakan ini, Menkeu membandingkan dengan rata-rata PPN di seluruh dunia. Sri Mulyani mengatakan kenaikan PPN ini masih rendah dari 10 % menjadi 11 % dan akan menjadi 12 % di tahun 2025. Sedangkan rata-rata PPN di seluruh dunia adalah sebesar 15 %.

Mengomentari hal ini, Faisal Basri, ekonom senior, menolak kebijakan tersebut dijalankan. Banyak alasan yang dikemukaan oleh Faisal. Salah satu diantaranya adalah pendapatan masyarakat belum cukup tinggi jika dibandingkan dengan dengan negara macam Amerika Serikat (AS) atau negara-negara maju lainnya di G20. Bahkan dibandingkan dengan Malaysia saja masih tertinggal.

Oleh karenanya, sekalipun kenaikan PPN hanya 10 % ke 11 %, kenaikan ini jelas memberatkan masyarakat. Apalagi Konsumsi masyarakat biasanya tumbuh 5%, saat ini hanya 2%. Jadi, Faisal menilai kurang bijak menaikkan pajak, yang artinya menambah tekanan pada daya beli masyarakat yang masih lemah.

Bukan tanpa alasan, mengapa pemangku kebijakan begitu “ngotot” ingin menaikkan PPN. Sekalipun mereka menyadari bahwa rakyatnya dalam kondisi pemulihan ekonomi pasca gelombang pandemi. Sebab “pajak” dalam sistem kapitalis adalah instrumen utama pemasukan negara, selain utang.

Seperti yang dikatakan oleh ahli pemerintahan Barat, Arthur Vanderbilt, “Taxes are the lifeblood of government and no taxpayer should be permitted to escape the payment of his just share of the burden of contributing thereto.” 

Karena pajak menjadi urat nadi itulah, penguasa yang seharusnya mengayomi rakyat, justru menjadi raja tega. Mereka tega memeras keringat dan tulang rakyatnya hingga tiris tak tersisa satu tetes pun. Tak peduli, apakah rakyatnya merasa berat atau tidak.

Sayangnya, tak semua rakyat merasakan sesaknya kenaikan pajak ini. Tatkala penguasa membuat kebijakan kenaikan pajak PPN, disaat yang sama penguasa justru menurunkan pajak penghasilan (PPh) badan/perusahaan dari 25% menjadi 22%.

Dari fakta ini, semakin jelas bukan? Bahwa sistem kapitalis adalah sistem yang pro kepada para korporat bukan kepada rakyat. Saking pro-nya, sistem ini juga melegalkan para korporat mengelola dan menguasai harta kepemilikan rakyat berupa SDA. Alhasil, rakyat hidup dengan melarat dan ditambah dengan cekikan pajak.

Jadi, tidak ada jalurnya pajak bisa menjadi pondasi yang kuat untuk ekonomi negara. Yang ada, rakyat yang sudah tidak diurus oleh penguasanya sendiri, semakin tertekan dengan adanya pajak.

Sangat berbeda ketika sistem Islam yang disebut khilafah dijadikan sebagai sistem kehidupan yang mengatur urusan negara. Sebab as Syari’ memerintahkan khilafah itu hadir sebagai negara ri’ayah (negara pengayom), bukan negara jibayah (negara pemalak).

Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kamu semuanya adalah penanggungjawab keatas gembalanya. Maka, pemimpin adalah pengembala, dan dialah yang selalu bertanggungjawab keatas gembalanya”.( HR.ahmad Bukhari, muslim, Abu Dwud dan At Turmizi dari Ibnu Umar).

Maka untuk permasalahan pemasukan anggaran negara misalnya, Khilafah memiliki baitul maal sebagai sumber keuangannya. Baitul maal sendiri memiliki tiga pos. Pertama, pos kepemilikan negara. Anggaran pos ini berasal dari harta fai’ (anfal, ghanimah, khumus); jizyah; kharaj; ‘usyur; harta milik umum yang dilindungi negara; harta haram pejabat dan pegawai negara; khumus rikaz; harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; dan harta orang murtad. Harta ini merupakan sumber APBN tetap khilafah baik ada kebutuhan atau tidak.

Adapun daribah (pajak), sekalipun masuk ke dalam pos kepemilikan negara, namun daribah bukan sumber tetap APBN Khilafah. Daribah adalah intrumen negara yang bersifat insindental (sewaktu-waktu). Daribah akan dipungut ketika dana baitul maal tidak mencukupi kebutuhan rakyat, terutama jika kebutuhan tersebut bersifat mendesak. Seperti biaya untuk menanggani bencana alam, jihad, dan lain sebagainya.

Maka untuk menghilangkan bahaya tersebut, daribah akan diwajibkan kepada kaum Muslimin bukan kepada kafir dzimmi. Kewajiban itu ditanggungkan kepada kaum Muslimin yang memiliki kelebihan harta. Kelebihan harta ini dihitung dari harta yang dimiliki seorang Muslim kemudian dikurangi dengan nafkah diri dan keluarganya secara ma’ruf, sesuai standar hidup mereka di wilayah tersebut. Jika ada sisa, barulah daribah wajib ditarik dari dirinya.
Kedua, pos kepemilikam umum.

Dana pos ini berasal dari hasil pengelolaan sumber daya alam oleh khilafah secara mandiri, tanpa intervensi asing sedikit pun. Dana dari pos ini bisa digunakan untuk menjamin pemenuhan layanan publik. Sehingga masyarakat bisa gratis menikmatinya.
Ketiga, pos zakat. Pos ini berasal dari zakat (fitah ataupun mal), wakaf, dan shadaqah kaum Muslimin. Dana dari pos ini akan disalurkan kepada delapan asnaf yang sudah ditentukan syariah.
Inilah cara Khilafah mendapatkan anggaran dana, tanpa menyusahkan rakyatnya. Wallahu a’lam bishawwab. []

Editor: Ulinnuha; Ilustrator: Fathzz


Photo Source by Google

Disclaimer: JURNALVIBES.COM adalah wadah bagi para penulis untuk berbagi karya tulisan bernapaskan Islam yang kredibel, inspiratif, dan edukatif. JURNALVIBES.COM melakukan sistem seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan JURNALVIBES.COM. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email redaksi@jurnalvibes.com

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Articles

Back to top button