Sejarah

JKdN II: Malahayati, Panglima Perang Didikan Khilafah Utsmani

Dengan semangat jihad fii sabilillah yang diserukan oleh Sang Khalifah, Laksamana Malahayati dan para Inong Balee pun bertempur dengan tekad kuat, berani, dan tak takut mati. Pilihannya hidup mulia atau mati syahid.


Oleh Siti Aisyah, S.Sos.
(Koordinator Kepenulisan Komunitas Muslimah Menulis Depok)

JURNALVIBES.COM – Sudahkah Anda menonton Film JKdN II? Sayang sekali kalau dilewatkan, karena banyak ilmu yang bisa kita ambil, terutama terkait sejarah. Sejarah yang menyuguhkan bagaimana keterkaitan nusantara dengan sistem pemerintahan Islam atau khilafah Islamiyah. Serta bagaimana pula berjayanya berbagai kesultanan di nusantara dalam naungan khilafah melawan dan memerangi kaum kafir penjajah sampai titik darah penghabisan.

Related Articles

Salah satu wilayah yang berada dalam naungan khilafah Islam adalah Aceh. Akhir abad ke-16, Kesultanan Aceh menjadi bagian dari Kekhilafahan Utsmaniyah pada masa Khalifah Selim II bin Sulaiman al-Qanuni. Waktu itu kekuatan Aceh sangat diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara. Militer Kesultanan Aceh pun sangat ditakuti oleh negara-negara Eropa waktu itu, seperti Inggris, Prancis, Spanyol, dan Denmark.

Ternyata, Khilafah Utsmaniyah menurut Ketua Majelis Adat Aceh, Prof. Farid Wajdi, memberikan pendidikan agama dan militer kepada rakyat Aceh baik laki-laki maupun perempuan. Di Banda Aceh ada tempat yang namanya Gampong Bitay. Di Gampong Bitay ada institusi akademi militer Banda Aceh yang diberi nama Baitul Maqdis. Di Gampong Bitay inilah mereka digembleng oleh para ahli di bidangnya, baik tsaqafah Islam maupun fisiknya agar bisa memerangi kaum kafir penjajah. Bahkan, dalam catatan di Turki, mereka dididik dan dilatih oleh 100 orang instruktur yang cakap sengaja didatangkan dari Kekhilafahan Utsmaniyah di Istanbul.

Maka tak heran, dari sana muncullah Sang Mujahidah tangguh Laksamana Keumalahayati. Atau lebih dikenal Laksamana Malahayati yang menjadi ajudan Sultan Aceh. Ternyata Malahayati masih kerabat dengan Sultan Aceh. Ayah dan kakeknya berbakti di Kesultanan Aceh sebagai Panglima Angkatan Laut. Ia pun mengikuti jejak ayah dan kakeknya yang menempuh pendidikan militer jurusan angkatan laut di akademi Baitul Maqdis.

Malahayati memulai perjuangannya melawan penjajah setelah terjadinya pertempuran di Teluk Haru, yakni armada laut Kesultanan Aceh melawan armada Portugis. Dalam pertempuran tersebut, Laksamana Zainal Abidin, suaminya gugur di medan perang. Tak lama, Malahayati mengusulkan kepada Sultan Aceh untuk membentuk pasukan yang terdiri dari janda prajurit Aceh yang gugur di dalam peperangan. Permintaannya itu dikabulkan. Ia diangkat sebagai panglima pasukan Inong Balee dengan pangkat laksamana. Malahayati adalah perempuan Aceh pertama yang menyandang pangkat tersebut.

Malahayati pun menjadi panglima pasukan laut. Ia memimpin sekitar 2000 sampai 3000 pasukan Inong Balee. Tanpa rasa takut, pasukan Inong Balee berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada 11 September 1599. Laksamana Malahayati pun berhasil membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu per satu di geladak kapal.

Tak hanya lihai dalam berperang, Laksamana Malahayati pun seorang yang ulung dalam berunding. Ia melakukan perundingan damai mewakili Sultan Aceh dengan pihak Belanda. Perundingan yang dibuat Belanda untuk melepaskan Frederick de Houtman yang ditangkap oleh Laksamana Malahayati. Dari perundingan tersebut, Frederick de Houtman dilepaskan namun Belanda harus membayar ganti rugi kepada Kesultanan Aceh.

Itulah sepenggal sejarah Malahayati sebagai laksamana yang berani melawan kafir penjajah. Namanya pun diabadikan. Salah satunya dalam dunia pendidikan, di Bandar Lampung ada Universitas Malahayati. Di Aceh Besar, Pelabuhan laut di Teluk Krueng Raya diberi nama Pelabuhan Malahayati. Bahkan, kapal milik TNI Angkatan Laut (kapal perang jenis Perusak Kawal Berpeluru Kendali/fregat kelas Fatahillah) namanya KRI Malahayati.

Tentunya semua perjuangan Sang Mujahidah, Laksamana Malahayati dan pasukan Inong Baleenya, sangat berkaitan erat dengan peran Khilafah Utsmaniyah di Istambul. Dengan semangat jihad fii sabilillah yang diserukan oleh Sang Khalifah, Laksamana Malahayati dan para Inong Balee pun bertempur dengan tekad kuat, berani dan tak takut mati. Pilihannya hidup mulia atau mati syahid. Allahu Akbar! []

Editor: Ulinnuha; Ilustrator: Fathzz


Photo Source by Google

Disclaimer: JURNALVIBES.COM adalah wadah bagi para penulis untuk berbagi karya tulisan bernapaskan Islam yang kredibel, inspiratif, dan edukatif. JURNALVIBES.COM melakukan sistem seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan JURNALVIBES.COM. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email redaksi@jurnalvibes.com

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button