Opini

Vaksinasi Berbayar, Ekonomi Rakyat Semakin Ambyar

Islam tidak sebatas agama ritual belaka namun juga sebagai pandangan hidup (ideologi) sahih yang datang dari Allah, Al-Khaliq wa Al-Mudabbir. Islam tidak hanya mengatur tentang salat, zakat, puasa, dan haji, namun Islam juga mengatur tentang bagaimana menangani wabah.


Oleh Nila Indarwati
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

JURNALVIBES.COM – Pandemi belum menampakkan tanda kapan akan berakhir. Sebaliknya, setiap hari kasusnya semakin bertambah, baik yang terpapar maupun yang meninggal. Meskipun juga ada yang sembuh.

Selain penerapan 5M pada masyarakat, pemerintah juga melakukan 3T dan program vaksinasi. Program vaksinasi sendiri telah dimulai sejak bulan Januari 2021 dan presiden menjadi orang pertama yang mendapat suntikan vaksin buatan Sinovac. (kemkes.go.id, 13/1/2021).

Dalam perjalanan program vaksinasi, Kementerian Kesehatan telah memperbarui pelaksanaan vaksinasi untuk menanggulangi pandemi dan meningkatkan cakupan vaksinasi nasional. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 18 Tahun 2021 yang disahkan oleh Menteri Kesehatan pada tanggal 28 Mei 2021, menggantikan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 dengan sejumlah perubahan menyesuaikan situasi dan kondisi saat ini. (kemkes.go, 13/6/2021).

Selain itu, presiden selaku orang nomor satu di negeri ini telah memberikan keputusan bahwa vaksin Covid-19 diberikan secara gratis bagi masyarakat. Hal tersebut telah disampaikan oleh presiden di kanal youtube Sekretariat Presiden dari Istana pada Rabu, 16 Desember 2020. (presidenri, 16/12/2020).

Namun seolah bertolak belakang dari pernyataan tersebut, beberapa hari lalu disampaikan bahwa program vaksin gotong-royong melalui Kimia Farma justru dikomersilkan bagi individu. Padahal sebelumnya, menurut Anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay menyatakan bahwa vaksin gotong royong diperuntukkan bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki banyak para pekerja dengan mekanisme pembiayaan oleh perusahaan sebagai perwujudan dari tanggung jawab sosial. (republikaonline, 11/7/2021)

Rencananya vaksin Covid-19 gotong-royong mulai bisa diakses masyarakat secara individu mulai Senin (12/7). Untuk tahap awal, vaksin bisa dibeli di sejumlah gerai Kimia Farma dengan harga pembelian Rp321.600 per dosis dan tarif maksimal pelayanan Rp117.910. Meskipun pada akhirnya hal tersebut ditunda pelaksanaannya.

Sontak saja pernyataan vaksin bisa diakses individu dengan mengeluarkan kocek sebesar itu semakin membuat gaduh publik. Semakin terlihat saja jika satu kebijakan bertolak belakang dengan kebijakan lainnya. Justru ini semua semakin menambah ketidakpercayaan masyarakat pada penguasa.

Tentu, untuk melihat fakta ini perlu dilihat secara detil dan komperehensif. Sehingga dengan begitu akan didapatkan solusi yang tuntas. Beberapa poin yang dapat dikritisi antara lain:

Pertama, terkait pandemi. Telah menjadi rahasia umum bagaimana penangan pandemi negeri ini. Dari kebijakan awal pada bulan Maret tahun 2020 dengan kasus pertama ditambah dengan berbagai kebijakan yang terkesan dengan permainan istilah. Dan sekarang memasuki tahun kedua, namun belum ada tanda-tanda keseriusan secara optimal dalam penanganan pandemi. Terlihat pula kasus terpapar dan kematian terus mengalami peningkatan.

Kedua, program vaksinasi. Minimnya edukasi hanya sekadar himbauan ditambah dengan ketidakpercayaan masyarakat pada penguasa semakin menambah runyam. Program yang dicanangkan dan dinyatakan gratis tiba-tiba berubah haluan menjadi berbayar meski terkait dengan vaksinasi dari pemerintah diklaim tetap gratis.

Padahal jika dilihat dengan minimnya edukasi pada masyarakat dan program vaksinasi yang digalakkan pemerintah sendiri belum bisa dikatakan berhasil. Belum lagi jika vaksin berbayar ini dilakukan maka siapa yang akan bertanggung jawab dalam mengevaluasi pascavaksin sebagaimana data yang dirangkum KIPI? Tentu ini harusnya juga dipikirkan oleh pemerintah selaku penyelenggara vaksinasi.

Ketiga, dampak pandemi bagi ekonomi rakyat. Sudah jamak diketahui bahwa yang terdampak pandemi bukan hanya sektor kesehatan, melainkan juga sektor ekonomi. Tidak sedikit dari rakyat mengalami PHK. Sebagian rakyat lain sudah kesusahan sebelum pandemi, dan hari ini (saat pandemi) semakin lebih susah. Jangankan memikirkan bisa vaksin, bisa makan saja sudah bersyukur.

Bukankah dengan adanya vaksin berbayar justru sebuah bentuk pemalakan pada rakyat? Terlebih juga, rakyat harus menanggung risiko karena belum tentu ada pengawasan pascavaksin.

Beberapa poin di atas setidaknya membuktikan bahwa penanganan pandemi, program vaksinasi, dan dampak pandemi pada ekonomi rakyat adalah efek dari kegagalan penanganan pandemi. Penanganan pandemi dilihat dengan perspektif untung-rugi semata. Perspektif ini yang lahir dari sistem kapitalisme yang tegak di atas asas sekularisme.

Kita tentu masih ingat bagaimana perjalanan pandemi di negeri ini, diawali dengan belum tuntas dalam menangani pandemi sudah terburu-buru diberlakukan new normal life. Kemudian program vaksinasi yang juga terkesan terburu-buru minim edukasi sehingga masyarakat tak memahami apa hakikat dari vaksinasi tersebut. Di sisi lain, pemerintah justru lebih berfokus pada keselamatan ekonomi.

Tentu hal ini berbeda dengan perspektif Islam. Islam tidak sebatas agama ritual belaka namun juga sebagai pandangan hidup (ideologi) sahih yang datang dari Allah, Al-Khaliq wa Al-Mudabbir. Islam tidak hanya mengatur tentang salat, zakat, puasa, dan haji, namun Islam juga mengatur tentang bagaimana menangani wabah.

Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullah yang artinya, “Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya.” (HR Muslim).

Selain hadis di atas juga telah dicontohkan oleh Umar bin Khathtahb ketika menghadapi wabah pada masa kepemimpinannya,
“Dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, Umar bin Khaththab ra. menempuh perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, Umar mendapat kabar bahwa wabah sedang menimpa wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf mengatakan kepada Umar bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi wabah di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.’ Lalu Umar bin Khaththab berbalik arah meninggalkan Sargh,” (HR Bukhari dan Muslim).

Selain itu, Islam memandang kesehatan sebagai kebutuhan mendasar bagi manusia tanpa beban biaya sebagaimana hari ini. Karenanya dalam pelaksanaannya harus dipastikan berjalan dengan optimal, terlebih dalam masa pandemi.

Sedangkan para ahli dan pakar kesehatan juga dimotivasi untuk menemukan obat dan vaksin, tanpa mereka terbebani dengan biaya. Sebab semua biaya akan ditanggung negara.

Lalu, untuk masyarakat diingatkan bahwa semua terjadi atas kehendak Allah. Rakyat baik dalam wilayah yang terkena wabah maupun di wilayah luar wabah diminta untuk berdoa dan ber-taqarrub pada Allah.

Solusi tersebut meniscayakan penanganan pandemi secara tuntas. Hanya Islam yang memiliki riayah totalitas dan optimal dengan tetap mengutamakan standar syariat. Wallahu a’lam bishawwab. []

Editor: Ulinnuha; Ilustrator: Fathzz


Photo Source by Google

Disclaimer: JURNALVIBES.COM adalah wadah bagi para penulis untuk berbagi karya tulisan bernapaskan Islam yang kredibel, inspiratif, dan edukatif. JURNALVIBES.COM melakukan sistem seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan JURNALVIBES.COM. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email redaksi@jurnalvibes.com

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Articles

Back to top button